1. Cara menentukan Ibadah Puasa dan Iedul Fithri
hilal
Awal puasa ditentukan dengan tiga perkara yaitu:
1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit).
2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.
3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.
Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini :
1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Berpuasalah
kalian karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya
(hilal bulan Syawal). Jika kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah
Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)
2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah
kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari
kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa padanya. Dan
janganlah kalian berpuasa sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia
(hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari
kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.”
(HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425,
dan di Shahih kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh
Adz-Dzahabi)
3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu :
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalam Ak-Kabir 17/171 dan lain-lain)
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :
“Puasalah
karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan
menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi
mempersaksikan (ru’yah hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian
karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni,
2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat
Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali
serta Syaikh Ali Hasan. Lihat Shifatus Shaum Nabi, hal. 29)
Hadits-hadits
semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir
bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain Radliallahu ‘anhum. Syaikh
Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhtrij-nya dalam
Irwa’ul Ghalil hadits ke 109.
Isi
dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan
Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian
atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan
syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil, sebagaimana tertera
dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua atau satu
sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika
beliau berkata :
“Manusia
sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa
dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342,
Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya
Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam
At-Talkhisul Kabir 2/187)
Catatan dari hadits-hadits diatas (oleh saya/uli):
1. Penentuan hilal yang disyari’atkan dalam agama ini cukup melihat bulan dengan mata telanjang.
2.
Menentukan awal masuknya bulan dengan metode hisab dibantu dengan ilmu
astronomi tidak disyari’atkan dalam agama ini (bid’ah), perhatikan
hadits-hadits seputar penentuan hilal diatas.
3. Allah menjadikan mudah agama ini, maka tidak perlu kita mempersulit diri.
2. Perbedaan Mathla’ (Tempat Muncul Hilal) dan Perselisihan Tentangnya
Hadits-hadits
diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan
berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal, bukan dengan hisab.
Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin bukan hanya kepada
satu negeri atau kampung tertentu. Maka, bagaimana cara mengkompromikan
hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhum yang berbunyi :
“Kuraib
mengabarkan bahwa Ummu Fadll bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah
di Syam. Kuraib berkata : “Aku sampai di Syam kemudian aku memenuhi
keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih
berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba
di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku –
kemudian dia sebutkan tentang hilal — : ‘kapan kamu melihat Hilal?’
Akupun menjawab : ‘Aku melihatnya pada malam Jum’at. Beliau bertanya
lagi : ‘Engkau melihatnya pada malam Jum’at ?’ Aku menjawab :’Ya,
orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah.’
Dia berkata : ‘Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa
menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal).’Aku
bertanya : ‘Tidakkah cukup bagimu ruyah dan puasa Muawiyyah ?’ Beliau
menjawab : ‘Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.’” (HR.
Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan
Tirmidzi di Shahih kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi
1/213)
Dalam
hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih
pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal.
147. Ibnu Hajar berkata : “Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :
Pendapat Pertama :
Setiap
negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal
ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan
bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali
beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu
pendapat madzab Syafi’i.
Pendapat Kedua :
Apabila
suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya.
Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil
Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan
bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang
berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri
Spanyol).
Al-Qurthubi
berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal
tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain
dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua
berpuasa…
Sebagian
pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri
berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua :
1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka
2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.
Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat :
1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.
2.
Dengan jarak mengqashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan
dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul
Muslim.
3. Dengan perbedaan iklim.
4. Pendapat As-Sarkhasi : “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”
5. Pendapat Ibnul Majisyun : “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain…”
berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang
melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan
beritanya.
Imam
Syaukani menambahkan : “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni
tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan
yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini
diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”
Hujjah
ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil
adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan
ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah
negeri lain. Demikian pendalilan mereka.
Adapun
menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat
munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri
melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ,”Puasalah kalian karena
melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum
mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat
hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)
As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna
dari ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara
kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah
bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)
Imam
As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya
ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya
Nailul Authar 4/195.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata : “Orang-orang
yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya
(negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i,
diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada
yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq
dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat
tidak berkaitan dengan hilal….
Apabila
seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat,
dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan
hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa)
untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)
Shidiq Hasan Khan berkata : “Apabila
penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus
mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang
jelas mengenai puasa, yaitu “karena melihat hilal dan berbuka karena
hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut
berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat
hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya …” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).
Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam mengomentari ucapan
Sayyid Sabiq yang mendukung pendapat yang mewajibkan ru’yah bagi setiap
penduduk suatu negeri dan penentuan jarak dan tanda-tandanya mengatakan :
“… Saya –demi Allah- tidak mengetahui apa yang menghalangi Sayyid
Sabiq sehingga dia memilih pendapat yang syadz (ganjil) ini dan enggan
mengambil keumuman hadits yang shahih dan merupakan pendapat jumhur
ulama sebagaimana yang dia sebutkan sendiri. Pendapat ini juga telah
dipilih oleh banyak kalangan ulama muhaqiqin seperti Ibnu Taimiyyah, di
dalam Al-Fatawa jilid 25, As-Syaukani dalam Nailul Authar, Shidiq Hasan
Khan di dalam Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/224-225 dan selain mereka. Dan
inilah yang benar. Pendapat ini tidak bertentangan dengan hadits Ibnu
Abbas (hadits Kuraib) karena beberapa perkara yang disebutkan
As-Syaukani rahimahullah. Kemungkinan yang lebih kuat untuk dikatakan
adalah bahwa hadits Ibnu Abbas tertuju bagi orang yang berpuasa
berdasarkan ru’yah negerinya, kemudian sampai berita kepadanya pada
pertengahan Ramadhan bahwa di negeri lain melihat hilal satu hari
sebelumnya. Pada keadaan semacam ini beliau (Ibnu Abbas) meneruskan
puasanya bersama penduduk negerinya sampai sempurna 30 hari atau melihat
hilal. Dengan demikian hilanglah kesulitan (pengkompromian dua hadits)
tersebut sedangkan hadits Abu Harairah dan lain-lain tetap pada
keumumannya, mencakup setiap orang yang sampai kepadanya ru’yah hilal
dari negeri mana saja tanpa adanya batasan jarak sama sekali,
sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam Al-Fatawa 75/104
…(Tamamul Minnah, hal. 397)
3. Bolehkah Ber -Iedul Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin ?
Sekarang
timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat ru’yah sendirian
secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri dan berpuasa sendiri atau
bersama manusia ?
Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114 :
Pendapat Pertama :
Wajib atasnya berpuasa dan ber’iedul fithri secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.
Pendapat Kedua :
Dia
harus berpuasa tetapi tidak ber’iedul fithri kecuali ketika bersama
manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.
Pendapat Ketiga :
Dia
berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang
paling jelas karena sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
(artinya) : “Puasa kalian adalah hari kalian berpuasa dan berbuka
kalian (Iedul Fithri) adalah hari kalian berbuka (tidak berpuasa) dan
Adha kalian adalah hari kalian berkurban. (HR. Tirmidzi 2/37 dan
beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata :
“Sanadnya jayyid dan rawi-rawinya semuanya tsiqah. Lihat Silsilah
Al-Hadits As-Shahihah 1/440)
Demikian keterangan Syaikhul Islam.
Bertolak
dari hadits Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu diatas, para ulama pun
berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah membawakan
hadits ini : “Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia.”
Imam As-Shan’ani berkata : “Dalam
hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia.
Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya
untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka
didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha.” (Subulus Salam 2/72)
Ibnul Qayyim berkata : “Dikatakan
bahwa di dalam hadits itu terdapat bantahan terhadap orang yang
mengatakan bahwa barangsiapa mengetahui terbitnya bulan dengan perkiraan
hisab, boleh baginya untuk berpuasa dan berbuka, berbeda dengan orang
yang tidak tahu. Juga dikatakan (makna yang terkandung dalam hadits itu)
bahwa saksi satu orang apabila melihat hilal sedangkan hakim tidak
menerima persaksiannya, maka dia tidak boleh berpuasa sebagaimana
manusia tidak berpuasa.” (Tahdzibus Sunan 3/214)
Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dakam Shahih Ibnu Majah : “Yang
jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara ini bukan untuk perorangan,
tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan
kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal
sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan
wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.”
Syaikh Al-Albani menegaskan : “Makna
inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna ini dengan
hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena
khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan
kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk
mengikuti jama’ah. Aisyah berkata : “Nahr adalah hari manusia
menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari manusia berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)
Akan
tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang
kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa karena dia
sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
dalam Majmu’ fatawa 25/117.
Terkadang
seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan
menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas
tentang keadilannya atau karena politik dan sebaginya dari alasan-alasan
yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan : “Apa
yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada
orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid
yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila
hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat
bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang para imam : Mereka (para
imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian
dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas
mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah atas mereka bukan
atas kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206)
Jika
timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat
hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari
bulan Sya’ban ?
Dalam
permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam
kitab beliau Taudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut :
“Pendapat
yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu
itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah
orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Apabila
kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya
(hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka
kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.
Sedangkan
Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya
puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah waktu keraguan yang
dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang
diriwayatkan oleh Ashabus Sunan : “Barang siapa berpuasa pada hari yang
diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam .” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad
yang sebenarnya.
Ibnu
Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad
menyatakan bahwa pada waktu itu puasa tidak wajib dan jika dia puasa,
maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul
ilmi (ulama).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak
berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga
mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului
Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang
wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan
yang disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua
perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”
Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu : “Aku
tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan
memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan
kepadanya.”
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan murid-murid beliau memilih larangan berpuasa (pada waktu itu).
Syaikh Muhammad bin Hasan berkata : “Tidak
diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan
selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan
atau diharamkan.”
Syaikh
Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada
waktu diatas) mempunyai hujah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar :
“Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa
berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in
beramal.”
Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.
Dari
keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban
apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan selainnya
adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu Imam
As-Shan’ani menegaskan : “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan
adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada
malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi
saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan
selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam 2/308)
Kalau
sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi
seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan
alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan
hari puasa (yang biasa ia lakukan).
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : “Janganlah
kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang
yang biasa berpuasa (bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim)
Shilah bin Zufar dari Amar berkata : “Barangsiapa
berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat
kepada Abul Qasim Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi Qasim Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).
4. Hukum Hilal Yang Diketahui Pada Akhir Siang
Dari
Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat
bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan bahwa
telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke
tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke
1026).
Hadits
ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya sahalat Ied boleh
dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah
keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat Al-Auza’I,
At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’I, dll…
Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu
adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani
dalam Nailul Authar 3/310.
Imam As-Shan’ani menyatakan : “hadits
diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala
waktu Ied diketahui dengan jelas sesuadah keluar (habis) waktu shalat.” (Subulus Salam 2/133)
Demikian
keterangan para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya
shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan yang diambil dari
kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya
mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan
kekurangan. Wallahu A’lam bis Shawab.
Catatan :
Khusus
hilal Iedhul Adha sedikit berbeda, mengingat hari Ied baru tanggal 10
bulan Dzulhijjah, maka tinggal dihitung sepuluh hari mendatang setelah
hilal nampak.
(Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22, penulis Ustadz Zuhair Syarif).
Dikutip dari salafy.or.id offline Penulis: Al Ustadz Zuhair Syarif, Judul: Penentuan Hilal awal bulan Ramadhan dan Syawal